Awalnya Tak Paham Robot, Ide Muncul dari Salah Pesan Barang
Jully Tjindrawan bersama koleksi robotnya di World Robotic Explorer, Thamrin City, Jakarta.
Sebagai pengusaha tekstil, Jully Tjindrawan boleh dibilang sudah sukses. Tapi, dia belum puas. Dia pun mendirikan World Robotic Explorer (WRE) yang kemudian disebut sebagai rumah robot pertama di Asia Tenggara. Uang Rp 20 miliar pun digelontorkan. Apa yang memotivasi Jully? -----------------------------------
Tak sulit mencari lokasi World Robotic Explorer (WRE) di lantai 2 Thamrin City, Jakarta Pusat. Rumah robot itu memang gampang dikenali. Dari luar saja, tampilan futuristisnya sudah sangat kental. Gerbang masuk dibuat ala pintu pesawat induk luar angkasa di film Star Trek.Gaya yang sama digunakan pada pintu akses ke semua ruangan berikut lorong-lorongnya. Tak ketinggalan, sejumlah sisi dinding dilapisi wallpaper bergambar robot-robot petarung masa depan yang sangat cerdas.
Di bagian depan di dekat meja resepsionis, dipajang satu robot ala gundam berwarna merah menyala. Robot setinggi 1,9 meter itu disapa Flashboard. Saat peresmian WRE pada 11 Desember 2010, Flashboard sudah disiapkan untuk beraksi.
Sayangnya, terjadi kesalahan teknis. Karena daya servo yang kurang besar, Flashboard gagal melakukan gerakan berjalan. Fungsi servo pada robot itu mirip dengan persendian pada manusia. Meski saat uji coba semua tampak sempurna, tampaknya, setelah memakai "baju merahnya", Flashboard menjadi lebih berat. "Padahal, kalau berhasil, ini akan menjadi robot kedua di dunia dengan tinggi lebih dari 1,4 meter yang bisa berjalan," kata Jully Tjindrawan, pendiri WRE, kepada Jawa Pos pada Rabu pekan lalu (19/1) lantas tersenyum kecut.
WRE yang kemudian dipopulerkan dengan sebutan rumah robot itu menempati area seluas 2.400 meter persegi. Sesuai namanya, di sana terdapat galeri robot. Pengunjung bisa melihat dari dekat beragam koleksi robot dunia. Ada yang diimpor dari Korea, Jepang, Prancis, serta Taiwan. Bentuk dan kemampuannya bermacam-macam. Mulai kalajengking yang ekornya bisa "mematuk", kadal yang mampu bergerak cepat, anjing peliharaan yang bisa marah kalau tidak diperhatikan, sampai sepasukan robot yang pintar menari. Harganya Rp 12 juta sampai Rp 20 juta per unit.
Salah satu robot kebanggaan Jully adalah robot NAO yang dikembangkan Aldebaran Robotics, Prancis. Menurut dia, itu merupakan robot kelas humanoid yang menjadi platform dunia. Tak mudah mendapatkan robot putih setinggi 58 sentimeter yang harganya lebih dari Rp 40 juta tersebut.
Dalam waktu dekat, tim Aldebaran Robotics membedah NAO dan mengungkap semua teknologinya di hadapan para dosen robotika di Indonesia. "Kalau pelatihan yang saya gelar hanya untuk SD, SMP, dan SMA, Indonesia akan terus tertinggal. Jadi, pendekatan ke kalangan dosen juga sangat penting," tegasnya.Orang yang tidak mengenal Jully mungkin akan mengira ibu tiga anak kelahiran Jakarta, 10 September 1971, tersebut adalah seorang pakar robotika. Padahal, itu sepenuhnya salah. Awalnya, dia justru sama sekali tidak paham dengan dunia robotika.
Semua berawal pada 2005. Saat itu, Jully yang tengah mengembangkan usaha kursus bahasa Inggris bernama Ultimate Explorer merasa gelisah. Dia merasa pengembangan science di Indonesia sangat minim. Muncul keinginan dalam diri Jully agar anak-anak juga bisa berkenalan dengan dunia science, terutama yang bersifat eksperimen praktis.
Karena itu, awal 2005, dia mengorder sejumlah item barang dari Jerman yang dikira model konstruksi biasa untuk dirakit. "Ternyata, saya salah pesan. Yang datang satu kontainer barang-barang robotika," ungkapnya. Bentuknya sepintas mirip lego. Tapi, lebih rumit dengan jaringan elektronik di dalamnya, lengkap dengan keping-keping VCD sebagai program installer. Ternyata, itu adalah instrumen kerangka robot yang paling mendasar.
"Belakangan saya tahu, istilahnya figure atau model konstruksi mekanik. Sangat banyak barang yang saya pesan itu sampai saya ditunjuk menjadi distributor," ujarnya lantas tersenyum.
Merasa buta dengan dunia robotika, Jully sempat enggan untuk meneruskan. Latar belakang pendidikan Jully memang sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia robotika. Dia meraih gelar S-1 finance dari Fresno State, AS, dan S-2 finance marketing dari National University, San Diego, AS. Tapi, salah seorang stafnya menyarankan agar Jully jalan terus. Apalagi, peminat robot di tanah air sebenarnya lumayan banyak. "Dari situ, saya mulai mempelajari apa robot itu. Ternyata sudah mendunia banget," tuturnya.
Akhirnya, Juli 2005, dengan membeli dua ruko di Muara Karang, Jakarta Utara, Jully mendirikan Robotic Explorer. Tak terlalu lama, dia sukses menjalin kerja sama dengan belasan sekolah di Jakarta yang mengakomodasi muridnya mempelajari dunia robotika melalui program ekstrakurikuler. "Saya membuka pembelajaran TK dan SD dengan hanya bermodal dua staf lulusan STM," ujarnya.
Jully memulai bisnis robot dari segmen anak-anak. Sebab, perangkat model konstruksi yang tanpa sengaja dia borong memang merupakan media pengenalan awal mengenai robot kepada anak-anak. Melalui model konstruksi tersebut, anak-anak belajar berimajinasi untuk membangun sosok robot impiannya.
Dalam perjalanannya, tampaknya, Jully masih juga sempat kehilangan arah. Dari hari ke hari, dia justru merasa semakin mengalami banyak kemunduran. Bukan dari segi penghasilan, tapi kepuasan batin. Berbeda jauh bila dibanding bisnis tekstil yang telah dia geluti belasan tahun.
"Bisnis itu biasanya, ketika semakin maju dan lama berkecimpung, kita semakin pintar. Seperti saya di usaha tekstil dan benang tenun. Tapi, di robotika ini, saya merasa semakin mundur. Background saya tidak di situ," tuturnya. Tapi, support dari banyak pihak membuat Jully terus bertahan.
Menyelami dunia robotika selama lima tahun membuat dirinya sering mondar-mandir menyaksikan kontes robot cerdas di Indonesia. Dia prihatin atas banyaknya klub robotika yang tidak diperhatikan. Karena itu, dia bercita-cita mendirikan semacam "basecamp" bagi para pencinta robot. Dari sana, muncul mimpi besar untuk mendirikan WRE yang juga dipopulerkan dengan sebutan rumah robot.
"Ada atau tidak ada saya, tempat ini harus tetap berdiri, semakin maju, dan digemari," tegas Jully yang mengaku telah menghabiskan Rp 20 miliar untuk menjalankan WRE tersebut.
Untuk mendirikan rumah robot, dia menjalin kerja sama dengan Axioo komputer yang men-support seluruh kebutuhan komputer. Termasuk Podomoro Group, pengembang Thamrin City. Sejak diresmikan Menristek Suharna Surapranata pada 11 Desember 2010, respons positif terus berdatangan, bahkan dari kalangan pencinta robot di luar negeri. Apalagi rumah robot Jully memang merupakan yang pertama di Asia Tenggara.
"Singapura, Filipina, dan Australia sudah datang dan menengok. Baru-baru ini ada telepon dari kantor berita Amerika Serikat yang mau menengok juga," ujar istri Welry Lesmana tersebut.
Jully prihatin atas minimnya apresiasi terhadap perkembangan dunia robotika di Indonesia. Padahal, kontes robot diselenggarakan Depdiknas (sekarang Kemendiknas) sejak 1990. Bahkan, pada 2001, salah satu wakil Indonesia, yakni tim B-Cak dari ITS, berhasil menjadi juara pertama dalam Asia Pasific Broadcasting (ABU) Robocon di Tokyo, Jepang. Jully berharap WRE tumbuh sebagai tempat penelitian, pengembangan, pembelajaran, serta pusat pameran robot.
Untuk saat ini, dia mematok Rp 150 ribu bagi setiap pengunjung yang ingin masuk ke rumah robot miliknya. Dalam kunjungan sehari itu, para pengunjung akan disuguhi atraksi sejumlah robot dan belajar mengenali prinsip dasar cara kerja robot.
Sejak bulan lalu, rumah robot juga memberlakukan sistem membership. Dalam waktu singkat, sudah lebih dari 20 anak mendaftar. Dengan menjadi membership, setiap anak bebas datang ke rumah robot setiap hari. Mau tahu tarifnya" Biaya keanggotaan selama tiga bulan dipatok Rp 2 juta, enam bulan (Rp 2,5 juta), dan setahun (Rp 5 juta). "Saya senang melihat anak-anak itu. Kadang habis pulang sekolah datang ke sini dan ikut pelatihan," kata Jully.
Di rumah robot juga tersedia movie theater lengkap dengan sebuah layar lebar serta puluhan kursi. Pengunjung bisa menonton film animasi berlatar belakang robot. Di sana, Jully membuka kesempatan seluas-luasnya bagi karya-karya anak bangsa.
"Bila punya animasi film 20?24 menit, kasih ke saya. Film apa pun yang saya rasa bagus, saya tayangkan. Nama pembuatnya pasti saya tampilkan, jangan khawatir. Bila suatu saat ada produser yang berminat, itu rezeki dari Yang Di Atas," katanya.
WRE, imbuh Jully, sudah melahirkan lima karakter robot dalam film animasi. Flashboard adalah salah satu di antara lima karakter animasi yang sudah memiliki wujud robot secara nyata. Tapi, dia tidak mau terburu-buru menawarkannya ke pihak televisi. "Pelan-pelan saja," ujarnya.
Saat ini, WRE yang memiliki 40 pengajar robotika itu sudah menjalin kerja sama dengan 60 sekolah di Jakarta, mulai SD sampai SMA. Permintaan juga terus berdatangan dari luar kota dan luar Jawa. "Saya berharap nanti rumah robot ini ada di setiap pelosok. Tidak perlu seluas ini. Yang penting ilmu di dalamnya," tegasnya.
Sebagai bentuk komitmen, Jully juga mendukung penuh deklarasi Asosiasi Robotika Indonesia pada 29 Januari mendatang. Pakar robotika dan presiden Kontes Robot Indonesia sejak 2004, Dr Ir Wahidin Wahab MSc, akan didapuk menjadi ketua umum asosiasi tersebut. (jpnn.com)
Di bagian depan di dekat meja resepsionis, dipajang satu robot ala gundam berwarna merah menyala. Robot setinggi 1,9 meter itu disapa Flashboard. Saat peresmian WRE pada 11 Desember 2010, Flashboard sudah disiapkan untuk beraksi.
Sayangnya, terjadi kesalahan teknis. Karena daya servo yang kurang besar, Flashboard gagal melakukan gerakan berjalan. Fungsi servo pada robot itu mirip dengan persendian pada manusia. Meski saat uji coba semua tampak sempurna, tampaknya, setelah memakai "baju merahnya", Flashboard menjadi lebih berat. "Padahal, kalau berhasil, ini akan menjadi robot kedua di dunia dengan tinggi lebih dari 1,4 meter yang bisa berjalan," kata Jully Tjindrawan, pendiri WRE, kepada Jawa Pos pada Rabu pekan lalu (19/1) lantas tersenyum kecut.
WRE yang kemudian dipopulerkan dengan sebutan rumah robot itu menempati area seluas 2.400 meter persegi. Sesuai namanya, di sana terdapat galeri robot. Pengunjung bisa melihat dari dekat beragam koleksi robot dunia. Ada yang diimpor dari Korea, Jepang, Prancis, serta Taiwan. Bentuk dan kemampuannya bermacam-macam. Mulai kalajengking yang ekornya bisa "mematuk", kadal yang mampu bergerak cepat, anjing peliharaan yang bisa marah kalau tidak diperhatikan, sampai sepasukan robot yang pintar menari. Harganya Rp 12 juta sampai Rp 20 juta per unit.
Salah satu robot kebanggaan Jully adalah robot NAO yang dikembangkan Aldebaran Robotics, Prancis. Menurut dia, itu merupakan robot kelas humanoid yang menjadi platform dunia. Tak mudah mendapatkan robot putih setinggi 58 sentimeter yang harganya lebih dari Rp 40 juta tersebut.
Dalam waktu dekat, tim Aldebaran Robotics membedah NAO dan mengungkap semua teknologinya di hadapan para dosen robotika di Indonesia. "Kalau pelatihan yang saya gelar hanya untuk SD, SMP, dan SMA, Indonesia akan terus tertinggal. Jadi, pendekatan ke kalangan dosen juga sangat penting," tegasnya.Orang yang tidak mengenal Jully mungkin akan mengira ibu tiga anak kelahiran Jakarta, 10 September 1971, tersebut adalah seorang pakar robotika. Padahal, itu sepenuhnya salah. Awalnya, dia justru sama sekali tidak paham dengan dunia robotika.
Semua berawal pada 2005. Saat itu, Jully yang tengah mengembangkan usaha kursus bahasa Inggris bernama Ultimate Explorer merasa gelisah. Dia merasa pengembangan science di Indonesia sangat minim. Muncul keinginan dalam diri Jully agar anak-anak juga bisa berkenalan dengan dunia science, terutama yang bersifat eksperimen praktis.
Karena itu, awal 2005, dia mengorder sejumlah item barang dari Jerman yang dikira model konstruksi biasa untuk dirakit. "Ternyata, saya salah pesan. Yang datang satu kontainer barang-barang robotika," ungkapnya. Bentuknya sepintas mirip lego. Tapi, lebih rumit dengan jaringan elektronik di dalamnya, lengkap dengan keping-keping VCD sebagai program installer. Ternyata, itu adalah instrumen kerangka robot yang paling mendasar.
"Belakangan saya tahu, istilahnya figure atau model konstruksi mekanik. Sangat banyak barang yang saya pesan itu sampai saya ditunjuk menjadi distributor," ujarnya lantas tersenyum.
Merasa buta dengan dunia robotika, Jully sempat enggan untuk meneruskan. Latar belakang pendidikan Jully memang sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia robotika. Dia meraih gelar S-1 finance dari Fresno State, AS, dan S-2 finance marketing dari National University, San Diego, AS. Tapi, salah seorang stafnya menyarankan agar Jully jalan terus. Apalagi, peminat robot di tanah air sebenarnya lumayan banyak. "Dari situ, saya mulai mempelajari apa robot itu. Ternyata sudah mendunia banget," tuturnya.
Akhirnya, Juli 2005, dengan membeli dua ruko di Muara Karang, Jakarta Utara, Jully mendirikan Robotic Explorer. Tak terlalu lama, dia sukses menjalin kerja sama dengan belasan sekolah di Jakarta yang mengakomodasi muridnya mempelajari dunia robotika melalui program ekstrakurikuler. "Saya membuka pembelajaran TK dan SD dengan hanya bermodal dua staf lulusan STM," ujarnya.
Jully memulai bisnis robot dari segmen anak-anak. Sebab, perangkat model konstruksi yang tanpa sengaja dia borong memang merupakan media pengenalan awal mengenai robot kepada anak-anak. Melalui model konstruksi tersebut, anak-anak belajar berimajinasi untuk membangun sosok robot impiannya.
Dalam perjalanannya, tampaknya, Jully masih juga sempat kehilangan arah. Dari hari ke hari, dia justru merasa semakin mengalami banyak kemunduran. Bukan dari segi penghasilan, tapi kepuasan batin. Berbeda jauh bila dibanding bisnis tekstil yang telah dia geluti belasan tahun.
"Bisnis itu biasanya, ketika semakin maju dan lama berkecimpung, kita semakin pintar. Seperti saya di usaha tekstil dan benang tenun. Tapi, di robotika ini, saya merasa semakin mundur. Background saya tidak di situ," tuturnya. Tapi, support dari banyak pihak membuat Jully terus bertahan.
Menyelami dunia robotika selama lima tahun membuat dirinya sering mondar-mandir menyaksikan kontes robot cerdas di Indonesia. Dia prihatin atas banyaknya klub robotika yang tidak diperhatikan. Karena itu, dia bercita-cita mendirikan semacam "basecamp" bagi para pencinta robot. Dari sana, muncul mimpi besar untuk mendirikan WRE yang juga dipopulerkan dengan sebutan rumah robot.
"Ada atau tidak ada saya, tempat ini harus tetap berdiri, semakin maju, dan digemari," tegas Jully yang mengaku telah menghabiskan Rp 20 miliar untuk menjalankan WRE tersebut.
Untuk mendirikan rumah robot, dia menjalin kerja sama dengan Axioo komputer yang men-support seluruh kebutuhan komputer. Termasuk Podomoro Group, pengembang Thamrin City. Sejak diresmikan Menristek Suharna Surapranata pada 11 Desember 2010, respons positif terus berdatangan, bahkan dari kalangan pencinta robot di luar negeri. Apalagi rumah robot Jully memang merupakan yang pertama di Asia Tenggara.
"Singapura, Filipina, dan Australia sudah datang dan menengok. Baru-baru ini ada telepon dari kantor berita Amerika Serikat yang mau menengok juga," ujar istri Welry Lesmana tersebut.
Jully prihatin atas minimnya apresiasi terhadap perkembangan dunia robotika di Indonesia. Padahal, kontes robot diselenggarakan Depdiknas (sekarang Kemendiknas) sejak 1990. Bahkan, pada 2001, salah satu wakil Indonesia, yakni tim B-Cak dari ITS, berhasil menjadi juara pertama dalam Asia Pasific Broadcasting (ABU) Robocon di Tokyo, Jepang. Jully berharap WRE tumbuh sebagai tempat penelitian, pengembangan, pembelajaran, serta pusat pameran robot.
Untuk saat ini, dia mematok Rp 150 ribu bagi setiap pengunjung yang ingin masuk ke rumah robot miliknya. Dalam kunjungan sehari itu, para pengunjung akan disuguhi atraksi sejumlah robot dan belajar mengenali prinsip dasar cara kerja robot.
Sejak bulan lalu, rumah robot juga memberlakukan sistem membership. Dalam waktu singkat, sudah lebih dari 20 anak mendaftar. Dengan menjadi membership, setiap anak bebas datang ke rumah robot setiap hari. Mau tahu tarifnya" Biaya keanggotaan selama tiga bulan dipatok Rp 2 juta, enam bulan (Rp 2,5 juta), dan setahun (Rp 5 juta). "Saya senang melihat anak-anak itu. Kadang habis pulang sekolah datang ke sini dan ikut pelatihan," kata Jully.
Di rumah robot juga tersedia movie theater lengkap dengan sebuah layar lebar serta puluhan kursi. Pengunjung bisa menonton film animasi berlatar belakang robot. Di sana, Jully membuka kesempatan seluas-luasnya bagi karya-karya anak bangsa.
"Bila punya animasi film 20?24 menit, kasih ke saya. Film apa pun yang saya rasa bagus, saya tayangkan. Nama pembuatnya pasti saya tampilkan, jangan khawatir. Bila suatu saat ada produser yang berminat, itu rezeki dari Yang Di Atas," katanya.
WRE, imbuh Jully, sudah melahirkan lima karakter robot dalam film animasi. Flashboard adalah salah satu di antara lima karakter animasi yang sudah memiliki wujud robot secara nyata. Tapi, dia tidak mau terburu-buru menawarkannya ke pihak televisi. "Pelan-pelan saja," ujarnya.
Saat ini, WRE yang memiliki 40 pengajar robotika itu sudah menjalin kerja sama dengan 60 sekolah di Jakarta, mulai SD sampai SMA. Permintaan juga terus berdatangan dari luar kota dan luar Jawa. "Saya berharap nanti rumah robot ini ada di setiap pelosok. Tidak perlu seluas ini. Yang penting ilmu di dalamnya," tegasnya.
Sebagai bentuk komitmen, Jully juga mendukung penuh deklarasi Asosiasi Robotika Indonesia pada 29 Januari mendatang. Pakar robotika dan presiden Kontes Robot Indonesia sejak 2004, Dr Ir Wahidin Wahab MSc, akan didapuk menjadi ketua umum asosiasi tersebut. (jpnn.com)