Masih ingat kisruh Monas pada Juni 2008? Saat itulah awal keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah. Terbitnya surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri yang melarang aktivitas Ahmadiyah dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Ahmadiyah menyebut organisasi mereka juga mengakui nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.
Juru bicara JAI Zafrullah Pontoh, mengatakan, dalam sepuluh tahun terakhir, tiap tahun yang bergabung dengan JAI lebih seribu orang. “Kami tetap beraktivitas seperti biasa meski selalu didiskriminaskan,” kata Zafrullah kepada wartawan di Jakarta, Kamis (13/1).
Dia mengklaim bahwa saat ini jumlah pengikut Ahmadiyah di Indonesia lebih dari 500 ribu orang, terbanyak berada di Pulau Jawa dan sekitarnya. “Jawa Barat basis terbesar kami,” ujar pria yang selalu mengenakan songkok ini.
Zafrullah mengatakan, JAI masuk ke Indonesia sejak 1925. Kemudian pada era 60-an, organisasinya mendapatkan badan hukum dan terdaftar di Kementerian Kehakiman sebagai salah satu organisasi keagamaan. “Dari sisi organisasi, Ahmadiyah tak berbeda dengan Muhammadiyah dan NU. Agama kami Islam dengan rukun iman dan Islam yang sama,” katanya.
Ke depan, ia berharap pemerintah bisa memberikan jaminan dan kebebasan tanpa diskriminasi terhadap JAI. “Tak ada yang salah dengan Ahmadiyah, karena kami juga meyakini Muhammad SAW sebagai nabi terakhir,” tandasnya.
Pemerintah sudah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri pada 9 Juni 2008. Surat yang ditandatangani Menteri Agama Maftuh Basyuni, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Mendagri Mardiyanto, mempunyai tiga nomor dari tiga instansi, yaitu No.3/2008, No.Kep-033/A/JA/6/2008, dan No.199/2008, tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat.
SKB itu terbit pasca-bentrok massa AKKBB (termasuk Ahmadiyah) dan massa Front Pembela Islam (FPI) di sekitar Monas. Terkait persoalan itu, Panglima Komando Laskar Islam (KLI) Munarman diamankan Polda Metro Jaya, karena ada orang yang terluka dalam bentrok tersebut. Namun, tak lama kemudian pria asal Palembang yang pernah menjadi Direktur YLBHI itu dibebaskan.
Ketika itu, Munarman dianggap memenangkan “pertarungan” terhadap negara, karena pemerintah akhirnya menerbitkan SKB tiga menteri untuk "melarang" aktivitas Ahmadiyah. Setelah SKB terbit, barulah Munarman menyerahkan diri ke polisi sebagai bentuk pertanggungjawaban bentrok Monas. Diduga, salah satu penyebab bentrokan saat itu karena Ahmadiyah tidak mengakui Rasulullah Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.
Ada enam poin dalam SKB itu. Kesatu, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan atau anggota pengurus JAI, sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, penganut, anggota, dan atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan kedua dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
Keempat, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI.
Kelima, warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum keempat dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keenam, memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama ini.(jpnn.com)